Pemilu & Konsolidasi Demokrasi

January 24, 2018

“Pemilu & Konsolidasi Demokrasi” terbit Hari ini di Harian Waspada Medan, Jum’at 21 Juli 2017 semoga bermanfaat bagi para pembaca
*Oleh: Hasrul Harahap
Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah pemilihan umum (Pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi kekuasaan. Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Ketiga, pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam proses pemilu. Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pillhannya dalam suasana bebas, tidak di bawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Dalam sejarah Pemilu Presiden langsung, Mantan Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono, terpilih dua kali yakni pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 dengan perolehan 60,8 persen jumlah suara. Pertama, Partai Demokrat gagal mempertahankan suara yang diperoleh pada pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat meraup 20,81 persen suara, melonjak 13,36 persen dari 7,45 persen suara yang diperolehnya pada Pemilu 2004. Namun, pada Pileg 2014, perolehan suara partai demokrat anjlok lebih dari 10 persen menjadi 10,19 persen. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan perolehan suara Partai Demokrat merosot drastis. Selain kasus rasuah yang menerpa beberapa kader Partai Demokrat, anjloknya perolehan suara juga mengindikasikan ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja kabinet Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, meningkatnya perolehan suara partai Gerindra karena rakyat menganggap mampu memberi solusi alternatif bagi perbaikan bangsa. Penurunan perolehan suara bukan hanya dialami Partai Demokrat saja, tetapi juga PKS dan PBB. Namun, persentase penurunan suara kedua partai bernafaskan Islam tersebut tidak lebih dari 1,5 persen. Sebagai contoh, PKS pada Pemilu 2009 memperoleh 7,89 persen suara, sedangkan pada Pemilu 2014 turun 1,1 persen menjadi 6,79 persen. Sementara PBB hanya turun 0,33 persen dari 1,79 persen pada Pemilu 2009 menjadi 1,46 persen pada Pemilu 2014. Penurunan suara PKS sebesar 1,1 persen kemungkinan besar diakibatkan oleh kabar “miring” akan sepak-terjang partai itu, khususnya terkait dengan kasus impor daging sapi. Walaupun demikian, secara keseluruhan PKS tampak stabil pada kisaran angka 6-7 persen yang merupakan captive voters partai berlambang bulan sabit dan padi itu. Sepanjang pemilihan umum era Reformasi, PKS memang selalu bertahan di angka 6-7 persen. Pada Pemilu 2004, PKS memperoleh 7,34 persen. Lima tahun kemudian 7,89 persen dan pada Pemilu 2014 memperoleh 6,79 persen. Sementara itu, turunnya persentase suara PBB disebabkan oleh tidak adanya pemilih setia dan simpatisan partai berlambang bulan dan bintang selain pemilih saat ini. Dengan keadaan seperti itu, dan jika hendak mengikuti kontestasi Pemilu 2019, perolehan suara PBB setidaknya berkisar di angka 1-1,5 persen saja. Kedua, banyak partai politik peserta Pileg 2014 memperoleh suara lebih tinggi dibanding pemilu lima tahun sebelumnya. Mereka adalah Partai Gerindra yang naik 7,35 persen dari 4,46 persen pada Pemilu 2009 menjadi 11,81 persen pada Pileg 2014; PDIP naik 4,94 persen dari 14,01 persen menjadi 18,95 persen; PKB naik 4,09 persen dari 4,95 persen menjadi 9,04 persen; PAN naik 1,54 persen dari 6,03 persen menjadi 7,57 persen; PPP naik 1,2 persen dari 5,33 persen menjadi 6,53 persen; Partai Hanura naik 1,49 persen dari 3,77 persen menjadi 5,26 persen; Partai Golkar naik 0,30 persen dari 14,45 persen menjadi 14,75 persen; dan PKPI naik 0,01 persen dari 0,90 persen menjadi 0,91 persen (lihat, Tabel 3). Kenaikan yang signifikan terjadi pada Partai Gerindra, PDI-P dan PKB. Meningkatnya perolehan suara Gerindra yang sangat besar dapat dikatakan karena “faktor” Prabowo Subianto dan bergeraknya mesin partai dari pusat hingga ranting. Sebagian besar rakyat Indonesia agaknya merindukan seorang pemimpin yang tegas dan mampu menciptakan stabilitas ekonomi dan politik.
Pemilu Pasca Reformasi
Sejak memasuki Era Reformasi pada tahun 1998, Indonesia telah menyelenggarakan secara periodik tiga kali pemilihan umum (Pemilu), yaitu Pemilu 1999, Pemilu 2004, 2014 dan Pemilu 2019. Pemilu 2019 akan menjadi Pemilu kelima dalam Era Reformasi di Indonesia. Dalam perspektif demokrasi elektoral, Indonesia telah mampu melewati apa yang dalam studi demokrasi disebut the two-turnover test. Istilah ini merujuk pada kemampuan negara melewati fase transisi demokrasi menuju fase konsolidasi demokrasi berdasarkan keberhasilan menyelenggarakan dua kali Pemilu sejak berakhirnya era kekuasaan orde baru. Pemilu serentak yang kelima nanti merupakan momentum bagi Indonesia memantapkan konsolidasi demokrasi. Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu tentu tidak dapat seketika disimpulkan Indonesia telah berhasil mewujudkan demokrasi substantif, meskipun demokrasi elektoral adalah prasyarat dan bagian esensial bagi demokrasi substantif. Demokrasi elektoral (demokrasi minimalis) dan demokrasi substantif (demokrasi maksimalis) mengandung makna dan memiliki ukuran berbeda. Jika realisasi demokrasi elektoral diukur hanya sebatas Pemilu yang bebas, kompetitif, dan demokratis, maka realisasi demokrasi substantif mensyaratkan lebih daripada sekadar penyelenggaraan Pemilu. Demokrasi substantif mencakup aspek yang luas, mulai dari adanya kebebasan sipil dan politik, jaminan hak-hak asasi manusia, hingga terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Menurut laporan penilaian praktik demokrasi di dunia yang dirilis oleh Freedom House, lembaga independen terkemuka dari Amerika Serikat yang melakukan riset dan advokasi demokrasi, berjudul Countries at the Crossroads, kualitas demokrasi Indonesia menurun dan masuk dalam kelompok negara di persimpangan jalan. Penilaian ini didasarkan atas beberapa indikator, yaitu perlindungan terhadap kaum minoritas, jaminan keamanan bagi jurnalis melaksanakan tugasnya, dominasi kepemilikan media oleh segelintir elite, dan keseriusan pemberantasan korupsi. Indonesia mendapat nilai rendah terkait dengan indikator tersebut.5 Demokrasi substantif Indonesia akan tampak semakin problematik jika variabel potret kehidupan partai politik Indonesia juga dimasukkan di dalamnya. Artinya, Indonesia memang masih harus serius bekerja keras untuk mencapai demokrasi substantif.
Pilihan Demokrasi
Demokrasi telah menjadi arus besar yang melanda dunia sehingga kini dianggap sebagai sistem yang paling populer dan dianggap terbaik dalam mengatur hubungan antara rakyat dengan penguasa. Secara massif konstitusi bangsa-bangsa di dunia telah memberi tempat bagi demokrasi sebagai sistem utamanya. Namun pada prakteknya, negara-negara yang mengaku menganut sistem demokrasi seringkali hanya nilai nominalnya saja yang demokrasi. Dalam banyak kasus, demokrasi tampil hanya sebagai formalitas atau hanya sebagai dokumen pendirian negara dan cita-cita pendiri bangsa. Pada negara-negara seperti ini, kenyataannya, rakyat ditempatkan hanya sebagai alat penguat legitimasi. Menurut Huntington, negara-negara yang menyatakan demokratis telah berubah dari waktu ke waktu antara lain dengan mencampurkan nilai-nilai demokrasi dengan nilai-nilai lain seperti totaliterisme dan otoriterisme yang boleh jadi menghapus sedikit demi sedikit nilai-nilai demokrasinya. Pada kasus rezim yang mengalami kemerosotan demokrasi yang lebih lunak, negara-negara demokrasi tersebut melakukan pembatasan-pembatasan secara ketat prosedur-prosedur demokrasi yang terdapat di negara tersebut. Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat yang dianggap sebagai salah satu prosedur demokrasi yang penting, bahkan dianggap paling penting, ternyata merupakan sasaran utama bagi para rezim non-demokratis untuk melakukan perekayasaan guna melanjutkan kekuasaannya. Pemilihan umum untuk mendapatkan pemimpin utama dan wakil rakyat sebagai esensi demokrasi justru menjadi salah satu titik utama kemorosotan demokrasi yang sering terjadi. Salah satu alasan penting untuk menjelaskan popularitas demokrasi adalah karena demokrasi telah menjadikan rakyat sebagai pusat dalam proses pemerintahan. Demokrasi meletakkan rakyat bukan sebagai subyek yang didikte oleh sesuatu di luar dirinya, melainkan bersama-sama dengan penguasa turut ke dalam proses pemerintahan tersebut. Hal itu tergambar dalam defenisi Abraham Lincoln tentang demokrasi yaitu “….that government of the people, by the people and for the people…”. Para ahli yang memandang demokrasi dari sudut prosedur, secara konkret menjelaskan implementasi pelibatan rakyat dalam demokrasi dilakukan melalui cara pengelolaan suara rakyat dalam pengambilan putusan publik. Joseph Schumpeter, seorang perintis konsep demokrasi prosedural, secara khusus memberikan penekanan bahwa demokrasi seharusnya memang sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Dalam negara yang menganut demokrasi, berdkonsolidasi-demokrasiasar konsep demokrasi prosedural, rakyat menentukan pemerintahan dan para pejabat utama pemerintahan dipilih melalui pemilihan yang kompetitif yang dapat diikuti oleh penduduk. Samuel Huntington menjelaskan operasionalisasi dari konsep demokrasi prosedural dengan menyebut pemilihan umum sebagai bentuk prosedur demokrasi. Menurutnya pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala merupakan indikator utama demokrasi dalam sebuah rezim. Robert Dahl, juga menyebut pemilihan umum yang bebas dan adil sebagai syarat berjalannya demokrasi. Pemilihan pemimpin dan wakil rakyat memang dianggap sebagai bentuk partisipasi yang terukur dan dinilai paling tua serta terus dianggap tetap tidak boleh dihilangkan. Bahkan pemilihan pemimpin dengan melibatkan rakyat ini dianggap bukan saja sebagai instrumen demokrasi, keberadaan pemilu telah membuat para pembuat kebijakan menaruh perhatian serius terhadap warga negara. Melalui keterlibatan rakyat dalam memilih pemimpin, dapat dianggap rakyat terlibat dalam pembentukan kebijakan karena rakyat menentukan siapa yang yang berhak membuat kebijakan. Begitu pentingnya pemilihan umum dalam suatu negara yang menganut demokrasi, telah menyebabkan pemilihan umum dijadikan dasar untuk menentukan keberadaan demokrasi di suatu negara.
*Penulis adalah Tenaga Ahli Wakil Ketua Komisi II dan Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu DPR RI

Leave a comment