MENYOAL SISTEM PENDIDIKAN

April 18, 2013

*Hasrul Harahap

“Merdeka itu tak hanya berarti bebas lepasnya seseorang dari kekuasaan orang lain, tapi juga berarti kuat dan mampu mandiri sendiri” (Ki Hadjar Dewantara)

Berbagai masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita, mulai dari mahalnya biaya kuliah,banyaknya pungutan di sekolah, korupsi di instansi pendidikan, lunturnya nasionalisme kaum muda, serta krisis integritas yang dialami para intelektual,tidaklah dapat dilepaskan dari sejarah dan konteks yang sekarang kita alami. Mahalnya biaya sekolah, misalnya, tidak hanya dapat dipandang sebagai imbas dari naiknya kebutuhan biaya operasional sekolah; banyaknya tuntutan dankorupsi di instansi pendidikan tidak hanya disebabkan oleh mentalitas, budaya,dan kehidupan akan kesejahteraan semata dari para aparat sekolah; lunturnya nasionalisme tidak hanya akibat pengaruh budaya asing dan krisis integritas para intelektual tidak dapat semata-mata dipandang sebagai minimnya ide kreatif dan terkikisnya nalar kritis. Jika dilacak lebih jauh, dibalik munculnya masalah-masalah diatas terselubung suatu kepentingan ideologi, politik, dan ekonomi sekelompok tertentu. Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi liberal, mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam penataan kegiatan ekonomi. Neoliberalisme bermula dari pandangan yang mengembangkan gagasan mengenai sistem ekonomi yang mencakup aturan tentang peran negara, modal dan pasar, dalam mekanisme pasar bebas. Tokoh-tokoh kunci neoliberalisme ini antara lain adalah Friedman Augustvon Hayek dan Milton Friedman. Menurut Friedman kehidupan ekonomi masyarakat akan berlangsung dengan baik jika tanpa campur tangan pemerintah, melainkan diserahkan saja kepada mekanisme pasar kerja yang bebas. Prinsipnya adalah membiarkan pasar bekerja dengan mekanismenya sendiri dengan mengandaikan tangantak terlihat (invisible hand) yangakan dapat secara otomatis mengoreksi masalah pasar, dan semuanya itu dapat dijamin hanya dalam kerangka negara demokrasi. Celakanya lagi, World Trade Organization (WTO), dan International Monetary Fund (IMF) menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang dapat diperjual belikan. Pendidikan yang seharusnya memiliki derajat dan semestinya diperlakukan lebih tinggi dibanding sektor-sektor lainnya tidak lepas juga dari jerat aturan liberalisasi yang mereka gencarkan.

Manajemen yang Buruk
Menurut Guru Besar Matematika Institute Teknologi Bandung (ITB) Iwan Pranoto yang juga pemerhati pendidikan mengatakan, mundurnya Ujian Nasional (UN) menandakan buruknya manajemen perencanaan pendidikan. “Mengurus Kurikulum tidak beres, mengurus ujian nasional tidak beres. Ini tanda cara kerja tidak berdasar proses bernalar yang matang”. Sementara itu Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistyo berpendapat tidak serentaknya Ujian Nasional (UN) menunjukkan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional tidak profesional dan ini merupakan preseden buruk dalam dunia pendidikan kita. Padahal kalau kita tinjau alokasi anggaran Ujian Nasional hampir lebih 500 Milyar dihabiskan untuk menyelenggarakan Ujian Nasional. Menurut sumber Litbang Kompas (Kompas 15/04/2013) pada tahun 2009 kecurangan guru dan siswa terjadi disejumlah SMA didaerah disebabkan karena memberikan kunci jawaban. Kemudian pada tahun 2010 tingkat kelulusan merosot tajam dimana tingkat kelulusan Ujian Nasional dibandingkan dengan tahun sebelumnya tercatat ada 267 sekolah yang seluruh peserta ujiannya tidak lulus.Selanjutnya pada tahun 2011 kecurangan guru dan siswa lagi-lagi terjadi dimana seorang murid Sekolah Dasar (SD) di Jawa Timur dipaksa gurunya untuk memasok bahan contekan buat siswa ditiga kelas. Terakhir pada tahun 2012 kebocoran soalyang terjadi di Kota Kendari menyebabkan seorang mahasiswa yang menjual bocoran soal dan jawaban Ujian Nasional palsu ditangkap polisi. Dari data yang kita lihat diatas bahwa carut marutnya Ujian Nasional kita hanya segelintir persoalan dari sistem pendidikan yang ada.

Pandangan Paulo Freire
Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia tawarkan. Baik kritikan maupun tawaran konstruktif Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam konteks nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi filsafat pendidikannya yang berporos pada pemahaman tentang manusia. Pemikiran PauloFreire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak“berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu. Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan metodologi pendidikan. Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi yang didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah dalildan rumus yang tidak punya hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasiguru-siswa adalah pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan. BagiFreire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran peserta didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya. Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidaktahu apa-apa) tidak ada. Peserta didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan peserta didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, peserta didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.

Penutup
Dalam situasi sekarang perlu didesakkan kepada pemerintah untuk kembali memikirkan ihwal mendasar tentang landasan pendidikan kita. Kembali membaca bahwa pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan suatu kemerdekaan manusia yang bermartabat, bukan sekadar soal angka dan dunia bendawi lainnya. Kembali harus direnungkan dan disadari selama ini elite politik bangsa ini masih enggan memahami dan memiliki kemauan menjalankan amanat konstitusi UUD 1945. Hal yang perlu diselami oleh hati nurani para elite tersebut bahwa tujuan utama kemerdekaan ini adalah kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat. Dua hal ini sering dilupakan dalam berbagai kebijakan para elite politik. Selama elite berkuasa,mereka berpura-pura tidak memahami tujuan tersebut. Dalam konstitusi jelas dinyatakan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara. Negara berkewajiban memberikan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Pendidikan yang mahal adalah akibat negara tidak menjalankan amanat konstitusi. Upaya memajukan pendidikan bangsa ini adalah sebuah pekerjaan panjang dan tidak mungkin selesai besok.Sudah waktunya menyadari bahwa kemajuan bangsa ini dicerminkan dari sejauh mana kebijakan pendidikan memberikan fasilitas terbaik bagi warganya.

*Penulisadalah Penelitidi Candidate Center