*Hasrul Harahap

Terorisme, menurut definisi Federal Bureau of Investigation (FBI) adalah “The unlawful of force or violence against person or proverty to intimidate or coerce a government, the entire population, or any segment thereof, in furthermore of political or social objectivities”. Dari definisi ini didapatkan empat unsur utama tindakan terorisme yaitu; penggunaan force atau tindakan kekerasan secara tidak sah, tindakan terhadap orang-orang atau harta benda, tindakan mengintimidasi atau menekan pemerintah, masyarakat atau bagian dari masyarakat, dan tindakan untuk mencapai tujuan politik atau sosial tertentu. Dengan perkataan lain, terorisme merupakan suatu bentuk tindakan kekerasan pelanggaran hukum yang ditujukan kepada masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat, tapi sasaran sesungguhnya adalah pemerintah yang sah dalam upaya mewujudkan aspirasi politik atau sosial sipelaku. Mengintimidasi pemerintahan yang sah supaya aspirasinya tercapai, itulah inti dari tindakan terorisme. Timbul pertanyaan, mengapa tindakan kekerasan tidak ditujukan langsung kepada pemerintah? Jawabannya sangat sederhana, karena pelaku teror menyadari betul bahwa mereka tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan pemerintah secara radikal. Terorisme adalah suatu sistem yang terorganisasi dari tindakan-tindakan yang dirancang secara khusus dan terencana untuk menciptakan ketakutan untuk menggoyahkan keyakinan masyarakat, untuk menghancurkan struktur kekuasaan, dan untuk menciptakan destabilitas negara dan bangsa dalam bentuk subversif, sabotase, bom, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Beberapa saat yang lalu tepatnya pada hari sabtu (8/9/2012) di Depok Jawa Barat lagi-lagi bom meledak. Ledakan diduga berasal dari sebuah bom rakitan yang berada dirumah petak yang dijadikan Yayasan Yatim Piatu Pondok Bidara. Seorang pria menjadi korban dalam peristiwa pengobaman tersebut. Pria itu diduga adalah pelaku perakit bom yang menewaskan dirinya sendiri. Insiden yang terjadi di Depok beberapa waktu yang lalu menunjukkan bahwa masih absennya negara dalam memberikan rasa aman kepada rakyatnya.

Suatu Pembenaran?

Baik dari sudut pandang moral, politik, filsafat dan sebagainya terorisme sendiri mendapatkan penilaian yang beragam. Bagi teroris, tindakan terorisme merupakan bentuk dari sebuah perjuangan untuk membela, menegakkan kebenaran, keadilan dan kemerdekaan meskipun itu terlepas dari pandangan masyarakat. Untuk mendapatkan nilai-nilai perjuangan tertentu yang dianggap tinggi, apapun caranya dapat dibenarkan, meski harus dengan mengorbankan nyawa manusia yang tidak berdosa sekalipun. Bagi mereka, pemikiran politikus seperti Nicollo Machiavelli (1469-1528) yang menegaskan demi tujuan politik dan kekuasaan, bisa dicapai dengan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan pembenaran. Dasar pemikiran itu mendapatkan kritik tajam bahkan sangat ditentang oleh ahli filsafat seperti Haig Khatchadourian di University of Wisconsin di Milwaukee. Ia menegaskan bahwa terorisme selalu salah secara moral. Bahkan, dalam bentuk-bentuk terorisme yang sangat revolusioner sekalipun yang ditujukan untuk maksud yang tampaknya adil untuk membungkam rezim yang zalim atau otoriter. Filsuf itu mengacu pada doktrin tradisional perang yang adil dan prinsip hak azasi manusia untuk membenarkan pernyataan-pernyataannya. Baginya, perjuangan yang dianggap tinggi atau mulia nilai politiknya atau nilai-nilai sosial atau nilai moral lainnya harus juga ditempuh dengan cara-cara yang mulia dan bermoral.

Benturan Peradaban
Teori Samuel Huntington tentang “benturan peradaban” (The Clash of Civilization and the Remaking of World Order) hari-hari terakhir ini kembali muncul, baik dikalangan pengamat dalam negeri maupun internasional, setelah menghilang dari wacana dan kontroversi sejak tahun 1990-an. Huntington meragukan kemungkinan skenario dari Fukuyama yaitu dunia akan dengan sukarela mengikuti sistem demokrasi Barat secara internal dan juga menghindari perang eksternal karena sistem demokrasi. Menurut Huntington, dunia justru akan mengalami tantangan konflik peradaban yang jauh lebih dahsyat dari Perang Dingin. Karena ada unsur balas dendam dan dendam kesumat lama serta turun-temurun sejak zama Perang Salib. Dunia akan terbagi dalam tiga peradaban besar yaitu Islam, Barat, dan China Confuciunism yang akan selalu bertempur berebut pengaruh bagaikan roman Sam Kok dalam cerita Tiongkok Kuno memperebutkan hegemoni dunia. Diluar tiga peradaban itu memang masih ada lima peradaban yang berpotensi berpengaruh seperti Rusia, Jepang, India, Amerika Latin dan Afrika. Grand Theory ketiga dikemukakan oleh Robert Kaplan dalam bukunya The Coming Anarchy setelah dia mengalami Ethnic Cleansing dalam perang Bosnia. Menurut Kaplan, ada tren anarki dan chaos dalam perang Bosnia yang bisa menjadi model dipelbagai kawasan di seluruh muka bumi. Segala macam paradigma lama tidak berlaku, sedangkan paradigma baru belum mapan. Akibatnya, terjadi hukum rimba, anarki, dan chaos. Hanya negara adidaya seperti Amerika Serikat yang bisa mengamankannya. Itupun tidak mampu memulihkan rasa damai dan sejahtera sebelum kawasan dan penduduknya mengalami teror ethnic cleansing yang menakutkan umat manusia. Apa yang terjadi pada 9 September 2001 dapat merupakan aplikasi dari teori perang peradaban Samuel Huntington maupun Robert Kaplan. Tidak banyak orang yang mau merujuk kepada Francis Fukuyama. Padahal dia pernah menjabat menjadi Gubernur di John Hopkins University dan menjadi salah satu penasihat utama Deputi Menhan AS Paul Wolfowitz. Secara berkelakar dalam pelbagai kesempatan, Wolfowitz menyebutkan bahwa AS beruntung ketika Fukuyama lebih tepat dan lebih optimis menjadi pakar ketimbang birokrat. Grand theory nya dianggap kuat dan dapat menjadi acuan untuk paradigma baru paska Perang Dingin.

Penutup

Pertanyaan kita, apakah kasus serial peledakan bom yang kerap terjadi belakangan ini di negeri kita dapat dikatakan benar secara moral? Sulit dibayangkan bahwa terorisme di sekitar kita belakangan ini dapat dibenarkan baik dari sudut pandang moral atau politik. Pertama, kasus peledakan bom yang terjadi di Indonesia yang mengatasnamakan agama hingga kini selalu penuh misteri dan tidak ada seorangpun mengatakan yang bertanggungjawab baik secara moral maupun secara politik. Masyarakat tidak tahu apa motif dan tujuan teroris dalam melakukan tindakan yang anarkis tersebut sehingga masyarakat selalu dibiarkan dalam ketidaknyamanan dan ketidakdamaian secara berkepanjangan tanpa akhir. Kedua, sasaran peledakan bom yang terjadi disekitar kita hingga saat ini tidak diketahui pelaku intelektualnya siapa sehingga yang hanya di identifikasi hanya korban pelaku bom bunuh dirinya saja. Ketiga, korban pengobaman tersebut adalah masyarakat yang tak berdosa sehingga, dari sudut pandang apapun tindakan kejahatan peledakan bom itu tidak dapat dibenarkan. Keempat, peledakan bom sangat berkaitan dengan kejahatan kemanuasiaan, menciptakan ketakutan massal sehingga bisa mendorong terjadinya konflik sosial yang jauh lebih luas yang berujung pada lahirnya konflik kemanusiaan.

*Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Jakarta dan Peneliti di Candidate Center