KAJIAN PERPPU TENTANG PILKADA

February 23, 2015

http://issuu.com/waspa…/…/waspada__rabu_18_februari_2015/23…

Terbit di Harian Waspada Medan Rabu 18 Februari 2015,

semoga bermanfaat bagi para pembaca

*Hasrul Harahap, SS. M.Hum

Undang-undang no. 22 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota disahkan oleh Presiden pada tanggal 30 September 2014 dan diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014. Didalam UU dinyatakan bahwa undang-undang tersebut dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan, maka dalam hal ini adalah tanggal 2 Oktober 2014. Namun pada tanggal yang sama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (perppu) no. 1 Tahun 2014 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU no. 22 Tahun 2014. Dengan demikian, ketentuan yang berlaku dalam hal pemilihan gubernur, bupati, dan walikota mulai tanggal 2 Oktober 2014 berdasarkan peraturan pengganti undang-undang (perppu) no. 1 tahun 2014. Berdasarkan substansinya, UU no. 22 tahun 2014 mengubah kententuan yang berlaku sebelumnya (dalam UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) bahwa Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh anggota DPRD. Seperti kita ketahui bersama setidaknya sudah 9 kali kita mengubah UU kepala daerah yaitu: UU 1/1945, UU 22/1948, UU 1/1957, Penpres 6/1959, UU 18/1965, UU 5/1974, UU 22/1999, UU 32/2004, dan UU 12/2008. Peraturan pengganti undang-undang (perppu) no.1 tahun 2014 bukan mencabut UU. No. 22 tahun 2014 dan memberlakukan ketentuan sebelumnya, dan bukan melakukan perubahan atau penyempurnaan terhadap UU no. 22 tahun 2014, melainkan membuat peraturan baru terkait dengan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Dengan demikian, tidak dapat dimaknai secara sederhana bahwa Pemilihan Kepala Daerah yang semula langsung oleh rakyat kemudian menjadi dipilih oleh anggota DPRD dan sekarang kembali dipilih langsung oleh rakyat, karena ketentuan di dalam perppu no. 1 tahun 2014 berbeda dengan ketentuan dalam UU no. 32 tahun 2004 beserta perubahannya sebatas menyangkut pemilihan kepala daerah.

Dasar Hukum

Apakah akibat hukum yang terjadi apabila DPR tidak memberikan persetujuan terhadap perppu no. 1 tahun 2014? Apakah terjadi kekosongan hukum atau ketentuan mana yang akan berlaku? Dasar hukum peraturan pengganti undang-undang adalah pasal 22 UUD tahun 1945 dan UU no. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-udangan. Pasal 22 UUD tahun 1945 sebagaimana berbunyi: (1) dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. UU no. 12 tahun 2011 pasal 52 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menyebutkan sebagai berikut: (1) peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikutnya. (2) pengajuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang. (3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang. (4) dalam hal peraturan pemerintah pengganti undang-undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut ditetapkan menjadi undang-undang. (5) dalam hal peraturan pemerintah pengganti undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Dalam hal perppu disetujui oleh DPR, maka perppu ditetapkan dan diundangkan menjadi UU tentang penetapan perppu no. 1 menjadi undang-undang dan perppu tersebut melanjutkan keberlakuannnya yang telah dimulai sejak tanggal 2 Oktober 2014. Kemudian dalam hal perppu tidak mendapat persetujuan dari DPR, maka dalam rapat paripurna yang sama, ditetapkan UU tentang pencabutan perppu no. 1 tahun 2014. Dengan demikian, ketika perppu diserahkan pembahasannya kepada alat kelengkapan dewan (AKD), maka sebelum dibawa ke rapat paripurna sudah disiapkan 2 (dua) rancangan undang-undang, yaitu rancangan undang-undang tentang penetapan perppu menjadi undang-undang dan rancangan undang-undang tentang pencabutan perppu yang didalamnya mengatur mengenai akibat hukum pencabutan tersebut.

Dampak Politis

Dengan ditolaknya perppu no 1 tahun 2014 oleh DPR RI, tidak hanya terdapat dampak hukum tetapi juga mengakibatkan dampak politis yakni mengakibatkan terjadinya kegamangan atas pilihan sistem pemilihan kepala daerah. Mengingat pada tahun 2015 KPU akan melakukan pemilihan kepala daerah secara serentak dibeberapa daerah di Indonesia, apalagi akan menjadi momentum dilaksanakannya pemilihan kepala daerah serentak secara bertahap dan pada akhirnya tahun 2020 akan berlangsung pemilihan kepala daerah serentak secara nasional. Pertimbangan dan perdebatan substansial atas pilihan mana yang lebih demokratis sesungguhnya sudah selesai ketika pembahasan UU no. 22 tahun 2014 di DPR RI periode 2009-2014 yang lalu. Pilihan apapun memiliki dasar argumentasi yang baik dan beralasan. Namun demikian ketika kita memilih salah satu pilihan dan kondisi terkini adalah hadirnya perppu no. 1 tahun 2014, maka harus menjadi pertimbangan bagi DPR RI untuk melihat dampak politis sekaligus teknis dan anggaran atas keputusan yang akan diambil DPR RI. Selalu terjadi perubahan-perubahan sesuai perubahan konfigurasi politik, pilihan langsung dan tak langsung, tapi semuanya konstitusional. Pilihan langsung atau tak langsung adalah soal kesepakatan politik antara DPR, Pemerintah serta interaksinya dengan masyarakat dan kalangan pers. Pada awal reformasi untuk membalik sentralisme Orba kita buat UU No. 22/1999 yang menguatkan DPRD. DPRD memilih Kepala daerah dan bisa menjatuhkannya. Ternyata pilkada melalui DPRD menimbulkan fenomena korupsi dan pemerasan secara massif. Maka sejak 2003 kita mulai usul Pilkada langsung. Asumsinya, takkan mungkin ada calon kepada yang mampu menyuap rakyat. Kemudian, lahirlah UU No.32/2004.


Menurut para Ahli

Menurut pakar hukum tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam UUD 1945 pasal 22 E ayat 2 hanya ada 4 jenis pemilu, pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR, kedua,pemilu untuk memilih anggota DPD, ketiga pemilu untuk memilih anggota DPRD, dan keempat pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pilkada menurut undang-undang dasar 1945 tidak termasuk dalam pemilihan umum. Kalau otonomi itu diberikan kepada provinsi, maka pemilihan bupati dan walikota memang bias diserahkan kepada DPRD, kalau kita merujuk pasal 18 UUD 1945, dikatakan, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, walikota itu dipilih dengan cara demokratis. Demokratis itu bisa langsung bisa tidak langsung, jadi itu soal pilihan saja. Kemudian timbul pertanyaan, mana yang lebih efektif pemilukada secara langsung atau dipilih melalui DPRD? Kalau kita lihat secara seksama pemilihan kepala daerah melalui DPRD manfaat politiknya lebih besar dibandingkan dengan dipilih secara langsung sebab sistem yang dibangun, pemilihan secara lansung akan mengakibatkan peluang korupsi yang besar ditengah-tengah masyakat. Sebagai contoh, biaya kandidat untuk kampanye memakan biaya yang sangat besar, belum lagi biaya iklan politik, pemberian sembako ke masyarakat dan lain sebagainya akan merogoh kocek yang tidak begitu sedikit apabila seoarang ingin menjadi kepala daerah. Kemudian merebak apa yang disebut dengan politik uang  (money politic). karena untuk membiayai pemilu, Pemilukada itu sangat besar! kadang-kadang untuk pemilihan bupati orang harus menyediakan 30-35 milyar. untuk biaya kampanye, biaya saksi, biaya tim sukses, saksi di TPS, korlap, sampai memberi uang kepada rakyat beli sembako dll. Akhirnya bupati yang kaya sumber daya alam dia akan beri izin-izin tambang, yang punya luas tanah dia akan beri izin-izin kebun kelapa sawit, kebun karet dan segala macam dikasihkan untuk biaya Pilkada kalau dia sebagai incumbent. Pada tahun 2013 terdapat 178 Pemilukada diseluruh tanah air. 90% dibawa ke MK, berarti ada sekitar 160 perkara Pilkada yang dibawa ke MK, diputus oleh MK, kalau setahun ada 360 hari dipotong-potong hari kerja hari libur dan lain-lain kira-kira ada 300 hari, maka 2 hari sekali MK harus memutuskan 1 Perkara Pilkada. bagaimana bisa diharapkan pemeriksaan itu berjalan secara objektif, jujur, adil, tenang pertimbanganpun tidak mendalam.

*Penulis adalah Tenaga Ahli DPR RI