Penulis adalah fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 2008-2010

Krisis ekonomi global pada tahun 1997 yang berawal dari negara-negara Asia seperti Indonesia, Thailand, Philipina, Malaysia, Singapura dan Korea telah membawa negara-negara yang ada di Asia dalam situasi gawat khususnya dibidang ekonomi. Washington Concensus (Kesepakatan Washington) sebutan untuk lembaga keuangan internasional seperti World Bank (WB) International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO) dan Departemen Keuangan Amerika Serikat yang tersentralistik di USA sangat terkontaminasi terhadap kepentingan ekonomi di setiap negara. Washington Concensus mengatakan bahwa kinerja perekonomian akan berjalan baik apabila didukung oleh sistem perdagangan bebas, stabilitas makro dan penerapan kebijakan yang tepat. Apa yang dinyatakan dalam Washington Concensus merupakan syarat dalam bergeraknya ekonomi pasar, tetapi hipotesa tersebut belum lengkap dan merupakan kebijakan yang salah arah. Sistem ekonomi agar berjalan dengan baik harus butuh kontrol dari pemerintah, regulasi yang tepat di sektor finasial serta kebijakan persaingan usaha yang sehat. Faktor-faktor yang mendasar inilah yang telah diabaikan oleh Washington Concencus dan sering kali berubah menjadi tujuan dan bukan lagi fungsi sebagai alat untuk mewujudkan sistem financial keuangan yang lebih baik. World Bank (WB), International Monetary Fund (IMF), dan World Trade Organization (WTO) acap kali jika negara luar tidak banyak bertanya tentap sistem kebijakan apa yang akan mereka terapkan.
Pada umumnya lembaga keungan internasional ini akan memverifikasi negara-negara demokrasi yang sangat membutuhkan dana yang relatif tidak sedikit, bahkan ini merusak sistem pemerintahan yang ada di negara yang menganut sistem demokrasi, dan ini sangat terlihat dinegara kita betapa Indonesia bertekuk lutut dibawah lembaga keuangan internasional, tidak hanya di sistem ekonomi tetapi penerapan kebijakan lembaga internasional berdampak sistem politik yang telah tertata rapi. Ini terlihat dengan banyaknya produk undang-undang yang tidak berpihak kepada rakyat tetapi menguntungkan individu atau kelompok orang. Joseph E. Stiglitz merupakan salah satu pakar ekonomi AS yang cukup kapabel dalam melihat peran lembaga keuangan internasional, dengan background nya yang perna menduduk jabatan strategis di Bank Dunia serta Dewan Ekonomi Amerika Serikat sudah dipastikan bahwa dia memiliki rasionalisasi dan argumentasi yang kuat dalam mengkritik sistem ekonomi liberal.
Sejak krisis ekonomi 1998 sistem ekonomi Indonesia mengalami goncangan yang amat berat, akibat dari goncangan krisis ekonomi tersebut pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional mengalami kendala yang amat pelik, tidak hanya dibidang ekonomi tetapi juga ini merambah ke bidang politik. Ketidakstabilan politik berdampak terhadap turunnya rezim Orde Baru dari singgah sanannya karena rakyat sudah kehilangan trust terhadap pemerintahan Orde Baru. Padahal kita telah memiliki sistem dan konsep ekonomi kerakyatan yang telah dibuat oleh para pendiri bangsa kita (Founding Father) walaupun realitanya di lapangan kita melihat bahwa sistem ekonomi menganut paham sistem ekonomi kapitalis dan ini sangat kontradiktif dengan sistem ekonomi kita. Sehingga timbul pertanyaan yang sangat mendasar, Apakah sistem ekonomi kerakyatan kita sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan zaman?, atau memang sistem ekonomi kerakyatan kita telah digeser dengan sistem ekonomi kapitalis yang mengandal modal sebagai faktor utama dalam menentukan kebijakan pasar. Pertanyaan tersebut mungkin sangat sederhana tapi berimplikasi terhadap sistem ekonomi kerakyatan kita.

Washington Concensus

Liberalisasi perdagangan yang pada akhirnya mengalami perdagangan bebas merupakan komponen kunci dalam kesepakatan Washington. Penekanan terhadap liberalisasi dimunculkan karena negara-negara Amerika latin ketika itu mengalami hambatan perdagangan. Pada umumnya negara-negara yang menganut paham demokrasi mengalami hambatan dan rintangan dalam sektor pembangunan nasional serta mandeknya inovasi karena ini merupakan raport negatif bagi negara. Argumen yang menyatakan bahwa proteksionisme akan menghambat inovasi ini merupakan hipotesa yang kabur dan salah karena perusahaan-perusahaan domestik yang stagnan bukan disebabkan oleh faktor eksternal tetapi lebih kontrol internal yang berjalan tidak efektif dan efisien. Liberalisasi perdagangan tidak bisa dengan sendirinya menciptakan persaingan. Jika liberalisasi terjadi pada perekonomian yang didominasi oleh importer monopolis, maka rente hanya akan berpindah dari pemerintah ke monopolis dengan penurunan harga yang tidak berarti. Liberalisasi perdagangan dengan demikian bukan merupakan syarat perlu bagi penciptaan perekonomian yang kompetitif dan inovatif. Penciptaan persaingan di sektor ekspor adalah sama pentingnya dengan persaingan di sektor impor. Sukses perekonomian Asia Timur merupakan bukti hal tersebut. Tiap negara memusatkan perekonomiannya pada produksi sektor yang menjadi keunggulan komparatifnya sehingga perdagangan berhasil meningkatkan upat dan memperluas kesempatan konsumsi.
Monopoli pemerintah pada industri tertentu telah menghambat persaingan. Hanya saja dorongan bagi privatisasi yang berkembang belakangan ini lebih dipicu oleh insentif untuk mendapatkan keuntungan dibandingkan upaya untuk meningkatkan persaingan usaha. Adalah wajar jika Washington Concencus lebih menekankan pada privatisasi ketimbang kompetisi. Washington Concensus tidaklah salah. Privatisasi penting dan pemerintah memang harus memusatkan sumber dayanya pada bidang yang tidak disentuh oleh sektor swasta. Hanya saja terdapat isu penting dalam tahapan serta cakupan privatisasi. Bahkan ketika privatisasi mampu meningkatkann efisiensi produksi, tetaplah sulit untuk memastikan bahwa tujuan publik lebih besar akan dapat dicapai meskipun regulasi telah ditetapkan. Rasionalisasi dari Washington Concensus bahwa problematika sistem keuangan global bisa diatasi ini merupakan hipotesa yang telah terbentahkan

Dampak Globalisasi

Dampak globalisasi yang tidak bisa terbendung oleh setiap negara ini membawa dampak positif dan negatif. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia bahwa kehadiran globalisasi di Indonesia membawa dampak yang negatif bagi sistem ekonomi kita, tetapi kita harus belajar dari Cina dan India dimana yang mana kehadiran globalisasi ini membawa dampak yang positif bagi sistem ekonomi mereka dan ini termuat dalam buku “The Collapse of Globalism” karangan John Ralston Saul mengatakan bahwa kedatangan globalisasi disambut dengan baik tetapi tidak serta merta mengikuti aturan main, prinsip dan sistem globalisasi mereka sendiri tetapi kemudian kepentingan nasional harus berjalan searah dengan kepentingan globalisasi sehingga terjaadi ketimpangan dalam sektor ekonomi. Pemerintah cina selalu melakukan kontrol keuangan dan asset-aset industri sehingga asset industri tersebut tidak mudah di privatisasi oleh kepentingan luar. Cina dan India merupakan salah contoh negara yang bisa mengkombinasikan kepentingan negara dan kepentingan globalisasi sehingga proteksi yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengontrol aset domestik bisa terealisasi dan regulasi ini yang tidak berjalan di Indonesia sehingga banyak aset-aset domestik banyak yang telah di privatisasi. Dalam buku “Globalisasi adalah Mitos” karangan Paul Hirst dan Grahame Thompson mengatakan bahwa globalisasi merupakan sistem yang gagal yang mana secara teoritis kekuatan mekanisme pasar mempunyai kelemahan yang sangat mendasar (weaknesses) pertama institusi pasar tanpa kehadiran institusi negara dapat menimbulkan ekternalitas negatif seperti kerusakan lingkungan alam akibat kegiatan ekonomi, kedua institusi pasar tidak dapat mengakomodasi moral karena pelaku-pelakunya hanya berorientasikan kepentingan ekonomi.

Ekonomi kerakyatan masih relevan

Hatta pernah mengatakan dalam Pledoinya di Pengadilan Belanda mengenai sistem ekonomi kita bahwa “Lebih baik Indonesia tenggelam ke dalam dasar laut yang dalam dari pada menjadi embel-embel bangsa asing”. Statemen tersebut menggambarkan bahwa posisi sistem ekonomi sudah sangat memprihatinkan khususnya dibidang ekonomi. Sistem Ekonomi kerakyatan kita yang telah digagas oleh para pendiri bangsa (Funding Fathers) ini merupakan sistem ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang mana masayarakat yang menjadi subjek ekonomi dan bukan sebagai objek ekonomi belaka. Koperasi merupakan salah satu bentuk ekonomi kerakyatan yang kongkrit yang telah ditelurkan dari sistem ekonomi kerakyatan kita, dan sistem ekonomi gotong royong menjadi salah satu cirri khusus dalam mengatasi kesejahteraan rakyat, sehingga sistem ekonomi kerakyatan yang telah di formulasikan oleh pendiri bangsa menjadi sebuah sistem ekonomi yang sesuai dan relevan untuk rakyat dan amanah konstitusi. Meskipun realitanya kita melihat sistem ekonomi kapitalis yang mulai menjalar ke sistem ekonomi kerakyatan kita harus disambut positif sehingga bagaimana kemudian sistem ekonomi kita bisa beradaptasi dengan sistem ekonomi kapitalis sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam sistem ekonomi kerakyatan tidak terpengaruh karena pengaruh sistem ekonomi yang datangnya dari luar. Demokrasi ekonomi seyogiyanya harus menempatkan rakyat sesuai dengan koridornya sehingga rakyat tidak dijadikan sebagi objek ekonomi tetapi harus diposisikan sebagai subjek ekonomi, kemudian pemerintah sepenuhnya harus mensupport sektor ekonomi rakyat sebagai pilar ekonomi.