MENYOAL CAPRES DARI PARTAI

November 12, 2011

Salah satu koran terbitan Jakarta pada rabu 08 November 2011 sudah banyak membicarakan wacana pencalonan presiden 2011. Tak tanggung-tanggung setiap partai politik mempunyai jagoannya masing-masing untuk di usung menjadi calon presiden kedepan. Ada beberapa nama yang masuk dalam bursa calon presiden seperti Aburizal Bakrie yang diusung secara bulat oleh Partai Golkar, Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional, Sri Mulyani yang diusung Partai Sri. Sementara Partai Demokrat yang menjadi pemenang pemilu 2009 belum mengagendakan bursa calon presiden 2014 dengan argumentasi partai demokrat fokus untuk mensukseskan program pemerintah. Meskipun demikian partai terbesar yang meraih suara terbanyak di pemilu 2009 harus mempersiapkan secara dini calon presiden yang menggantikan sosok Susilo Bambang Yudhoyono, artinya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin di Partai Demokrat sudah mengantongi nama untuk maju, bukan? Kalau dilihat secara umum belum ada muncul kader domokrat yang mampu mengimbangi popularitas SBY, inilah yang menjadi problem di internal demokrat sendiri. Informasi dari internal partai demokrat menyebutkan bahwa petinggi partai demokrat tak punyak pilihan lain kecuali Ibu Ani Yudhoyono dan Djoko Suyanto yang diusung untuk bertarung di pilpres 2014. Berhubungan dengan hal tersebut SBY dan PD jangan terlalu berlama-lama menyaring calon bursa presiden kedepan karena ini menyangkut popularitas SBY dan PD. Sementara itu calon presiden dari PD siapapun orangnya sangat sulit untuk mengimbangi popularitas seorang SBY. Ini terlihat ketika SBY secara pribadi menyulap dan behasil menjadikan PD dari titik nol menjadi partai pemenang pemilu 2009. Disamping itu, makin tinggi popularitas SBY, maka makin besar pula kemungkinan calon presiden yang ia dukung mendapat suara terbanyak nanti dan begitu juga sebaliknya.

Koalisi Partai

Kemudian bagaimana menurut Anda, apakah sosok Prabowo Subianto yang memimpin di survei Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS) pas disandingkan dengan Puan Maharani anak sulung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri atau justru lebih cocok dengan Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi? Jangan-jangan Prabowo Subianto masih laku dipasangkan sebagai cawapresnya Megawati Soekarno Putri atau Puan Maharani (yang memimpin di survei Jaringan Suara Indonesia) karena Susilo Bambang Yudhoyono sudah tidak ikut di pilpres di 2014. Atau, Prabowo Subianto justru lebih bagus dicawapreskan mendampingi Aburizal Bakrie yang memimpin berdasarkan survei Reform Institute? Kemudian, Sosok Surya Paloh yang kemungkinan dicalonkan partai nasdem dan Sri Mulyani yang disokong partai Sri tidak bisa dianggap remeh dalam pencalonan bursa calon presiden kedepan. Sri Mulyani yang menurut polling mencapai sebesar 44,3 persen memilikit integritas, pekerja keras, visioner, dan komitmen ditambah lagi dengan posisi strategisnya di Bank Dunia dan kedekatannya dengan negara paman sam tersebut apa lagi kedekatan emosional antara Sri Mulyani dan Susilo Bambang Yudhono baru-baru ini sangat harmomis. Apa lagi PD membuka peluang besar diluar kader demokrat untuk diusung menjadi capres 2014 dan bisa saja PD akan berkoalisi dengan Sri Mulyani dengan argumentasi bahwa SBY sangat nyaman secara politik. Diluar PD kemungkinan juga Sri Mulyani akan berduet dengan Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi meskipun Mahfud belum mendapat restu dari Partai PKB, namu ada celah independen untuk mencalonkan diri menjadi capres atau cawapres. Sementara itu pemimpin media group Surya Paloh tidak boleh dianggap sebelah mata oleh kandidat capres yang lainnya yang memiliki integritas kepemimpinan nasional dan kebangsaan yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Ditambah lagi dengan bergabungnya bos MNC group Hary Tanoe ke partai nasdem akan memperkuat Surya Paloh melenggang untuk bertarung di pilpres 2014. Dari gambaran diatas tampak terlihat bahwa publik sangat merindukan sosok pemimpin baru yang notabenenya membawa gerakan perubahan bagi bangsa.

Pertarungan Politik

Berkaitan dengan pilpres 2014 kompetisi pilpres bukanlah sekedar pertarungan popularitas antara setiap figur politik namun harus diprioritaskan sebagai laboratorium kepemimpinan nasional di pilpres kedepan. Dengan segala carut marutnya sistem pemilu kita dan aneka kecurangan yang mewarnai pemilu legislatif dan eksekutif setiap partai politik kasak-kusuk membahas calon presiden kedepan, padahal pemilu masih relatif lama dan banyak agenda nasional yang belum terselesaikan secara kongkrit oleh pemerintahan sekarang. Setiap parpol sudah mengeluarkan manuver politik masing-masing untuk menterawang jauh siapa yang akan menjadi mitra koalisi kedepan. Itulah kekuasaan politik menjadi alat untuk merebut simpatisan publik tanpa harus melihat basis nilai dan visi yang seharusnya diperdebatkan. Referensi koalisi bukanlah memprioritaskan antara gagasan visi jauh kedepan namun lebih disibukkan dengan manuver politik yang zig zag. Platform partai yang dirancang setiap partai politik menjadi alat legitimasi untuk dibungkus apik dan menjadi jualan politik di pilpres. Untuk itulah pertarungan politik diantara partai politik di pilpres 2014 tanpa visi yang jelas akan melahirkan pesta pora yang sia-sia; dan menghambur-hamburkan biaya demokrasi yang teramat mahal. Tanpa perenungan yang mendalam dan komitmen yang kuat pesta demokrasi di tahun 2014 sulit untuk menyelesaikan masalah-masalah yang elementer dan mendasar. Dalam konteks demokrasi pertarungan antara figur politik bukanlah harga mati, pihak yang menang harus tetap merangkul semua semua kalangan dan simpatisan publik dan pihak yang kalah hendaknya mengkonsolidir semua kekuatan untuk mempersiapkan kemenangan dihari esok dan menjadi oposisi yang kritis. Kemudian dalam kerangka ini demokrasi harus menjadi acuan kemenangan semua pihak; yang menang dan kalah harus mempunyai peran dan fungsinya masing-masing untuk mengabdi kepada tuan yang sama; yaitu rakyat (demos).

Penutup

Sekali lagi, pemilu legislatif dan pilpres 2014 baru akan terselenggara tiga tahun lagi, menurut hemat penulis sangatlah dini mewacanakan pencalonan pilpres kedepan. Masih banyak agenda nasional yang belum tuntas dan terselesaikan sehingga isu ini tidak menjadi agenda utama dalam pemerintah SBY Boediono. Wacana pilpres bisa saja menghambat tugas pemerintah tiga tahun depan. Namun ada rasionalisasi yang menyatakan wacana capres sejak dini sebuah pilihan yang tepat. Nama-nama yang digulirkan ke publik untuk bertarung dipilpres 2014 mempunyai kesempatan yang sama untuk dinilai dan diuji. Publik akan berusaha menilai secara objektif sejauah mana rekam jejak dimiliki sang calon, termasuk kapasitas dan kapabilitas sebagai pemimpin. Atas dasar itulah capres yang bertarung dapat mengukur diri sejauh mana elektabilitasnya bisa diterima dan ditolak oleh publik. Terlepas dari berbagai wacana yang bergulir ke publik tentang pilpres 2014 seyogiyanya pemerintah tidak terkontaminasi dalam isu pilpres yang masih relatif lama. Waktu tiga tahun Bila rakyat sudah terlindungi, hak-haknya sudah dipenuhi oleh pemerintah secara otomatis siapapun dan dari partai manapun dukungan publik akan mengalir kepada capres yang mempunyai komitmen yang tinggi.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta Jurusan Linguistik Terapan dan Peneliti di Candidate Center

MENGAWAL SISTEM PRESIDENSIAL

November 4, 2011

terbit di Media Online Titik Api News
Friday, 04 November 2011 11:49
http://www.titikapinews.com/index.php/Ruang-Ekspresi/mengawal-sistem-presidensial.html

Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumumkan wajah baru dalam Kabinet Indonesia Jilid II di Istana Negara Jakarta. Komposisi kabinet yang diumumkan kemarin menempatkan beberapa wajah baru yang duduk di pos kementerian yang sangat strategis. Rasionalisasi perombakan kabinet yang dilakukan presiden semata-mata untuk mengakomodir kaum profesional yang tidak berasal dari partai politik sedangkan kaum profesional itu diperlukan untuk menunjang efektifitas kabinet yang selama ini mandek. Dari beberapa kementerian yang direshuffle diantaranya jatah menteri dari Partai Keadilan Sejahtera (Kementerian Riset dan Teknologi yang dijabat oleh Suharna Surapranata) yang digantikan oleh Gusti Muhammad Hatta yang sebelumnya menjabat sebagai menteri Lingkungan Hidup dan satu menteri dari Partai Demokrat. Kemudian kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang awalnya dijabat oleh Jero Wacik digantikan Mari Elka Pangestu yang pada awalnya menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Kementerian Kelautan dan Perikan yang dijabat oleh Fader Muhammad akhirnya tergeser menggantikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Sharif Cicip Sutardjo. Satu hari sebelumnya, sebelum SBY mengumumkan perombakan kabinet nama Agung Laksono yang menjabat sebagai Menko Kesra santer akan mengalami reshuffle tapi realita politik pos Menteri Kesra tetap tetap dijabat oleh Agung Laksono. Menurut Menko Polhukam Djoko Suyanto perombakan kabinet yang dilakukan oleh Presiden sesuai dengan kesepakatan koalisi dengan rasionalisasi bahwa penngurangan dan penambahan jatah menteri dilakukan setelah Presiden berkonsultasi dengan pimpinan koalisi partai politik. Sebenarnya presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan tidak perlu khawatir dengan manuver politik yang dilakukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), karena dalam sistem yang menganut sistem presidensial seorang Presiden kapanpun berhak melakukan perombakan kabinet. Menurut Pengamat politik Universitas Indonesia Eep Syaifullah Fatah menilai pelaksanaan reshuffle dan pengangkatan wakil menteri tidak berorientasi kepada peningkatan kinerja. Melainkan berdasarkan kompromi politis, sehingga yang masuk kabinet tidak dilihat kelayakan dan kompetensinya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berusaha mengubah perimbangan orang partai dan nonpartai. Maka itu, Presiden mengeluarkan dua menteri dari unsur parpol, yaitu Darwin Zahedy Saleh dari menteri ESDM dan Suharna Supranata dari menteri Riset dan Teknologi (Menristek).

Mengawal Sistem
Sistem pemerintahan merupakan salah satu istilah utama dalam kajian ilmu politik dan ilmu hukum tata negara. Istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan bagaimana pemerintahan dalam suatu negara dijalankan. Faktor yang paling memengaruhi terjadinya pembedaan cara penyelenggaraan pemerintah adalah siapa atau lembaga apa yang memegang kekuasaan pemerintahan. Dua sistem yang paling dikenal adalah sistem parlementer dan sistem presidensial. Selain kedua sistem tersebut,sebenarnya terdapat sistem lain, misalnya sistem campuran yang dipraktikkan di Prancis dan sistem kolektif seperti dipraktikkan di Swiss. Pembeda utama antara sistem parlementer dengan sistem presidensial adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Dalam sistem parlementer yang memegang kekuasaan pemerintahan adalah parlemen. Perdana menteri dengan kabinet pemerintahan sesungguhnya adalah organ parlemen yang melaksanakan tugas pemerintahan. Oleh karena itu seorang perdana menteri dan para menteri dapat merangkap, bahkan lazimnya, adalah anggota parlemen. Dalam sistem presidensial otoritas kekuasaan sepenuhnya ditangan seorang presiden yang terpisah dari kelembagaan parlemen. Pemisahan kekuasaan itu diperkuat dengan legitimasi politik yang sama antara presiden dan parlemen, yaitu sama-sama dipilih oleh rakyat. Sebagai lembaga negara yang terpisah, semua jabatan dalam lembaga kepresidenan tidak dapat dirangkap oleh anggota parlemen. Oleh karena itu pada prinsipnya semua hal yang menyangkut tentang penyelenggaraan negara menjadi tanggungjawab presiden. Terus kemudian dimanakah peran DPR dalam proses penyelenggaraan negara? Peran DPR diposisikan pada wilayah pembentukan undang-undang yang dilakukan bersama-sama presiden, kemudian segala hal yang menyangkut penyelenggaraan negara seperti penentuan program pembagunan, alokasi anggaran, pengankatan pejabat dalam lingkungan pemerintahan dan lain sebagainya. Disisi lain kedudukan parlemen dalam hal ini DPR sangatlah kuat karena banyak hal yang selalu dikonsultasikan dengan DPR. Hal ini terjadi karena adanya ketentuan undang-undang yang mengharuskan adanya persetujuan dari DPR seperti pengangkatan duta/konsul, RAPBN. Untuk mempertegas penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan sistem presidensial tentu diperlukan berbagai upaya, baik dari aspek hukum maupun aspek politik,sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam praktik pemerintahan. Upaya hukum adalah pada tingkat peraturan perundang- undangan yang mengatur kedudukan, wewenang, dan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan serta prinsip saling mengawasi dan mengimbangi, perlu ditentukan batas wewenang dan hubungan antar keduanya sesuai dengan semangat konstitusi. Hal yang merupakan wilayah pemerintah dikembalikan dan ditegaskan sebagai wewenang pemerintahan di bawah presiden, baik dalam hal perencanaan, penganggaran, penentuan kebijakan maupun pengangkatan jabatan-jabatan dalam lingkungan pemerintahan.

Wacana Penyederhanaan Partai
Sistem kepartaian yang kita bangun haruslah diarahkan untuk terwujudnya sebuah tata kelola sistem pemerintahan presidensil yang didukung oleh jumlah partai yang sedikit di tingkat suprastruktur. Berkaca pada pengalaman hampir tiga belas tahun paska reformasi, demokrasi Indonesia dengan sistem mulltipartai belum signifikan memberikan harapan bagi pengelolaan tata pemerintahan yang efektif dan efisien. Alasannya karena sistem multipartai telah mengalami perluasan fragmentasi, sehingga mempersulit proses pengambilan setiap keputusan di legislatif. Karena itu, tidak heran bila berbagai pihak mulai mendorong penerapan sistem multipartai sederhana. Persoalannya, bagaimana mendorong proses penyederhanaan partai harus dilakukan? Alam demokrasi tentu tidak menggunakan larangan secara langsung bagi pendirian partai politik, karena itu hak asasi yang harus dihormati. Pembatasan partai politik dilakukan dengan menerapkan berbagai prosedur sistem pemilu. Secara sah, legal, dan demokratis, sistem pemilu menjadi alat rekayasa yang dapat menyeleksi dan memperkecil jumlah partai politik dalam jangka panjang. Duverger berpendapat, bahwa upaya mendorong penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan menggunakan sistem distrik. Dengan penerapan sistem distrikdapat mendorong ke arah integrasi partai-partai politik dan mendorong penyederhanaan partai tanpa harus melakukan paksaan. Semetara dalam sistem proporsional cenderung lebih mudah mendorong fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai politik baru. Sistem ini dianggap mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai. Dalam sistem distrik, teritori sebuah negara dibagi menjadi sejumlah distrik. Banyaknya jumlah distrik itu sebanyak jumlah anggota parlemen yang akan dipilih. Setiap distrik akan dipilih satu wakil rakyat.

Penutup
Sistem pemerintahan presidensial yang diharapkan akan dapat memberikan stabilitas pemerintahan, ternyata juga mempunyai kelemahan seperti yang dikhawatirkan Hatta, yaitu kecenderungan sentralisme yang nyaris mematikan kreativitas dan prakarsa penduduk, yang terjadi selama hampir empat dasawarsa, antara tahun 1959-1998. Demikianlah, sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 praamandemen 1999-2002 telah ‘melahirkan’ dua orang presiden Indonesia yang amat besar kekuasaannya dan karena itu telah mengambil keputusan-keputusan yang nyaris tidak dapat dikoreksi siapapun juga, baik di tingkat pusat, juga atau apalagi di tingkat daerah. Kedua presiden ini naik dan jatuh dalam situasi krisis nasional, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik. Demikianlah, kelihatannya kita masih tetap bagaikan terombang-ambing antara sistem pemerintahan parlementer yang secara formal telah ditolak, dengan sistem pemerintahan presidensial yang kelihatan masih belum memperoleh formatnya yang tepat.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta Jurusan Linguistik Terapan dan Peneliti di Candidate Center